Setiap 1 Juni, bangsa ini memperingati Hari Lahir Pancasila dengan serangkaian seremoni yang megah: pidato kenegaraan, upacara bendera, dan kampanye media tentang persatuan. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah sejauh mana Pancasila hidup dalam praksis sosial dan politik kita hari ini? Apakah Pancasila sungguh-sungguh menjadi pedoman dalam kebijakan negara dan perilaku elite politik, atau sekadar simbol kosong yang hanya dimunculkan saat momen seremonial tiba?
Di tengah disrupsi politik identitas, radikalisme digital, hingga ketimpangan sosial yang terus menganga, Pancasila seharusnya menjadi alat kritik terhadap realitas, bukan hanya dokumen historis. Inilah yang menjadi fokus perhatian Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ponorogo sebagai sebuah organisasi yang tak hanya berkutat di ruang kelas, tapi juga mengakar di denyut nadi masyarakat.
Pancasila hari ini tengah terperangkap dalam komodifikasi. Ia dijadikan alat legitimasi kekuasaan, bukan lagi sebagai alat pembebasan rakyat. Banyak elite berbicara tentang persatuan, namun membiarkan hukum dipermainkan untuk kepentingan oligarki. Banyak institusi menggembar-gemborkan toleransi, tapi membiarkan diskriminasi berbasis agama, ras, atau kelas sosial terjadi tanpa perlawanan berarti.
PMII Ponorogo memandang situasi ini sebagai bentuk krisis kebermaknaan ideologi. Ketika nilai-nilai Pancasila tidak lagi membumi dalam kebijakan publik dan keseharian masyarakat. Maka, tugas kader PMII bukan hanya mempertahankan wacana, melainkan melakukan konfrontasi gagasan. Pancasila harus dikritisi secara progresif terus mempertanyakan apakah benar sila keadilan sosial sudah tercermin dalam distribusi kekayaan nasional? Apakah benar demokrasi berasaskan hikmat, atau justru didikte oleh kepentingan modal?
Sebagai organisasi berbasis intelektualitas kritis dan keislaman yang toleran, PMII Ponorogo tidak memaknai Hari Lahir Pancasila secara simbolik. Bagi PMII, ini adalah momen untuk mempertajam kritik dan memperluas gerakan kultural yang membela rakyat tertindas lewat kajian ideologis, advokasi sosial, hingga konsolidasi gerakan mahasiswa lintas kampus.
PMII Ponorogo berusaha menjadikan Pancasila sebagai alat perlawanan terhadap ketidakadilan. Ini terlihat dalam keberanian mengkritik kebijakan daerah yang tidak pro-rakyat, membela kebebasan akademik, serta mengawal isu-isu petani, buruh, dan minoritas yang kerap dilupakan negara.
Selain itu, PMII juga mendorong kader-kadernya untuk tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga peka secara sosial. Di tengah gejala apatisme generasi muda, PMII ingin membuktikan bahwa aktivisme bukan hal usang, melainkan kebutuhan zaman. Peringatan Hari Lahir Pancasila 2025 harus menjadi pengingat keras bahwa ideologi tidak boleh dijinakkan menjadi slogan.
Seorang kader PMII harus hidup dalam praktik, dalam kritik, dan dalam gerakan. PMII Ponorogo, dalam semangat “Dzikir, Fikir, dan Amal Shaleh,” memposisikan dirinya bukan sebagai penonton sejarah, tetapi sebagai pelaku perubahan sosial. Mereka sadar bahwa menjaga Pancasila bukan sekadar menghafalnya, tetapi memperjuangkannya—melalui perlawanan terhadap ketidakadilan, intoleransi, dan pembodohan struktural yang masih marak hari ini.
Salam Pergerakan!!!
Penulis: M. Ghulam Zamroni
Editor: Imam Mustajab