Tahun baru Hijriah bukan sekadar bergantinya kalender Islam. Ia bukan momen ceremonial yang cukup dirayakan dengan pawai obor dan spanduk. Namun, 1 Muharram adalah titik sejarah yang menandai pergeseran besar: bukan hanya geografis dari Makkah ke Madinah, tapi peralihan dari penindasan menuju pembebasan; dari keterasingan menuju kebersamaan; dari ketersembunyian menuju terang peradaban.
Hijrah Nabi Muhammad SAW adalah tindakan revolusioner. Ia adalah manuver politik, strategi sosial, dan spiritualitas perlawanan dalam satu napas. Saat tekanan kaum Quraisy semakin menyesakkan, Nabi tak menyerah pada realitas, tapi menggalang kekuatan alternatif dan hijrah menuju madinah untuk membangun masyarakat baru yang lebih adil, setara, dan inklusif di Madinah. Di sanalah Piagam Madinah lahir dokumen sosial-politik yang mendobrak tribalisme sempit dan menegaskan prinsip hidup bersama dalam keberagaman.
Namun hari ini, semangat hijrah itu kian tumpul. Tahun baru Hijriah diperingati tanpa keberanian untuk mempertanyakan keadaan umat. Di tengah dunia yang penuh kegelapan kesenjangan sosial yang makin tajam, kerusakan lingkungan yang mengancam, korupsi moral yang mengakar, umat Islam seringkali terjebak dalam romantisme masa lalu dan kehilangan kepekaan terhadap luka zaman ini.
Alih-alih membangun Madinah versi baru, kita terperangkap dalam nostalgia Makkah lama. Alih-alih meneladani jejak hijrah Nabi, kita justru nyaman dalam stagnasi, sibuk mempertahankan sistem yang sudah nyata menindas. Di sinilah pentingnya membaca ulang hijrah dengan lensa pembebasan. Ali Shariati, seorang pemikir Islam revolusioner dari Iran, menegaskan bahwa “Islam sejati adalah Islam yang berdiri bersama Mustadh’afin, yang menolak dominasi, dan menentang penindasan.” Baginya, Islam bukan alat pelipur lara, melainkan mesin pembebas kesadaran. Dalam konteks hijrah, ini berarti Islam memanggil umat untuk berpindah dari keterkungkungan menjadi penggerak perubahan sosial.
Sementara itu, Hasan Hanafi mengingatkan bahwa “Tafsir agama tidak boleh berhenti pada teks, tetapi harus dimulai dari realitas sosial. Teologi harus menjadi alat pembebasan, bukan alat pengasingan.” Hijrah, dalam konteks ini, menuntut kita meninggalkan teologi pasif yang hanya mengajarkan sabar di bawah ketidakadilan, dan beralih pada teologi aktif yang membakar semangat perjuangan. Di Indonesia sendiri, Nurcholish Madjid membuka jalan berpikir progresif dengan menyatakan bahwa “Pembaruan Islam bukan sekadar ritualisme, tetapi keberanian menghadirkan nilai-nilai Islam dalam konteks kebangsaan dan kemanusiaan.” Maka, hijrah hari ini adalah keberanian untuk tidak mencukupkan urusa agama dalam mimbar dan mushola, tapi menuju agama yang hidup dan hadir ditengah-tengah hiruk piruk keadaan sosial yang ironi ini.
Apa arti semua ini bagi aktivis, mahasiswa, pelajar, intelektual muda, dan siapa pun yang mengaku cinta Islam? Artinya jelas: 1 Muharram adalah panggilan untuk bergerak. Untuk tidak lagi bersikap netral dalam menghadapi ketidakadilan. Karena dalam kata-kata Malcolm X: “Yang bersikap netral dalam penindasan, sejatinya berpihak pada penindas.” Hijrah bukan lagi berpindah kota, tetapi berpindah sikap. Dari diam menjadi lantang. Dari patuh menjadi kritis. Dari tunduk menjadi sadar!!!!
Putra Maulidin, Pemuda Desa.